Sejak kecil aku bicara dalam Bahasa Indonesia setengah baku. What’s that? Bahasa Indonesia baku sih…tapi hampir semua kata dengan akhiran “kan” dan “i” diganti dengan “in”, gitu juga dengan partikel, hanya dalam kondisi bercanda ato lagi puitis kalee kalo aku mengeluarkan kata-kata dengan partikel “lah, kah, tah, pun”, sehari-hari partikel yg mengiringi kata-kataku adalah “sih, dong, deh, tuh”. Belakangan setelah menikah, setelah terjadi percampuran budaya, partikel “mah, euy, atuh” juga ikut hadir. Errr….kayaknya kalo gitu sih, bukan Bahasa Indonesia setengah baku lagi ya? Mungkin seperempat baku malah…
Sampai SMP aku masih berbicara dalam bahasa setengah baku tadi. Di SMA, ternyata anak-anak kota itu (aku tinggal dan sekolah sampai SMP di pinggiran Kota Bandung, jadi aku anak kampung dong!), temen-temen di sekolah bicara campur aduk, Bahasa Indonesia seperempat baku yang kata ganti orang pertamanya jadi “gue” sementara kata ganti orang keduanya jadi “elo” dan seringkali juga mereka berbicara dalam Bahasa Sunda kelas pasar. Haiyyyah…gegar budaya deh aku waktu masuk SMA dulu. Puluhan cerita lucu terjadi gara-gara aku salah mengartikan kata dalam Bahasa Sunda. Walau sejak SD sampai SMP aku belajar Basa Sunda, tapi…itulah bahasa, akan menguap kalau tidak dipakai.
Ada yang baru lagi di SMA, aku dan kawan-kawan dekat sering berbicara dalam bahasa sandi yang kuncinya sering kami apdet apabila kawan-kawan diluar kelompok kami udah mulai mengendus arti kata-kata yang kami lontarkan. Waktu SMP, dengan teman dekatku, kami cukup saling mengeluarkan sandi internasional untuk inisial teman yg ingin kami gosipin. Contoh nih, aku mau bilang kalau si Tunjung hari ini keliatan cakep, aku cukup bilang, “Tango lagi cakep” atau sobatku ingin bilang kalo kecengannya, Yuliawan, belum nampak seharian, dia cukup bilang “Yankee kemana ya?” Hihihi…masih gampang ditebak banget kan bahasa sandinya?:-P
Di SMA, kreativitas aku & temen-temen selalu tertantang untuk menciptakan sandi-sandi baru. Bentar…bentar, lagi nyoba ngerecall memory nih…owiyah, untuk di awal-awal, bahasa sandi kami cukup dikasih sisipan “in” di tiap SUKU KATA yang kami ucapkan. Suku kata lho. Dan kami harus mengucapkan dengan kecepatan standar berbicara dengan Bahasa Indonesia setengah baku. Contoh nih, kami mau bicara “sebel banget deh sama si Agus” dalam bahasa sandi kami akan menjadi”sine binel sina mina sini ina ginus” sampai suatu saat, setelah berganti-ganti sandi, akhirnya muncul sandi paling heboh, dan aku serta sahabat-sahabatku menikmati sekali tatapan penuh kekaguman…eh…kebingungan temen-temen lain yang menyaksikan kami saling berbicara dalam bahasa sandi kami yg paling mutakhir itu. Masih dengan contoh kalimat yang sama “sebel banget deh sama si agus” dalam bahasa sandi mutakhir kami akan berbunyi “sesfer besfer les baiden springen esfer tes desfer hes saiden maiden sisfir aiden gusfur ses”. Hayooo…ada yang tau kuncinya nggak? Yang berhasil nebak kuncinya, aku kasih gelas cantik deh.
Udah hampir 10 tahun ini (eh, atau lebih ya?) muncul bahasa gaul yang dipopulerkan oleh Debby Sahertian, ck ck ck…doi sampai menerbitkan kamusnya tuh. Untuk bahasa yang satu ini, jangankan untuk beli kamusnya, mempelajarinya aja udah males. Secara aku ibu RT yang sehari-hari bergaul dengan anaknya sendiri, PLRT di rumah, tukang sayur di pasar, masak sih harus bilang gini “mau kemandang?” waktu aku sedang bermain-main dengan Alita yang sok dandan kayak mau ke pesta pake aksesoris lengkap fake barbie. Plis dong ah, anak lagi menyerap banyak-banyak dari ibunya koq malah diajarin yang nggak baku? Atau bilang “alamak, maharaninya ini ikan” ke tukang ikan yang menawarkan harga diluar kewajaran. Bisa juling deh itu si tukang ikan. Eh…eh…eh *pake “e” pepet lho, sambil geleng-geleng kepala pula*…nggak banget kan ya? Tapi secara aku masih kontak intensif dengan sahabat sejak SMA, dan dia wanita gaul banget, jadi sedikit-sedikit aku tahu tentang si bahasa gaul ini. Nganeh-nganehin sih, tapi rasanya sangat mudah diartikan tuh, tinggal kita cermati konteks saat kata-kata aneh itu dikeluarkan.
Untuk aku yang memang hobi dengan segala macem sandi sejak SD (ceritanya kan Pramuka gitu lho), mungkin (mungkin lho) nggak terlalu susah untuk ngikutin bahasa gaul, tapi untuk orang yang kurang suka sandi-sandian pleus kurang gaul, untuk bahasa gaul yang paling sederhana sekalipun, akan susah mengartikan, walaupun kalau berdasarkan konteks, artinya sangat jelas. He he, masih agak anget nih, sempet terjadi salah paham dengan temen lama gara-gara aku nyebut “ember” untuk mengiyakan kalimat yang dia lontarkan, dimana ember tuh artinya emang. Weladalah…rupanya dia marah, dan aku baru tahu kalo dia marah ketika beberapa hari kemudian dia kontak aku dengan sms, sempet berdiskusi dikit tentang suatu hal dan dia melontarkan kata “ember” dengan tujuan menghina, berikut penegasan “kemaren dulu elo bilang ember ke gue waktu gue ngomong masalah ini, sekarang elo ngomong kayak gue juga, dasar elo ember!” Waw…rupanya kemaren dulu itu dia marah! Endingnya hepi koq, aku jelasin arti ember itu yang semula dia nyangka itu sejenis negative comment, kami sama-sama minta maaf.
Sejak itu aku berjanji untuk berusaha bicara sesuai umur, hihihi…umur segini ngomong masih kayak ABG, dan…ssstt…aku juga berdoa untuk temenku itu, semoga dia makin bisa bergaul *ngibrit….*
Sampai SMP aku masih berbicara dalam bahasa setengah baku tadi. Di SMA, ternyata anak-anak kota itu (aku tinggal dan sekolah sampai SMP di pinggiran Kota Bandung, jadi aku anak kampung dong!), temen-temen di sekolah bicara campur aduk, Bahasa Indonesia seperempat baku yang kata ganti orang pertamanya jadi “gue” sementara kata ganti orang keduanya jadi “elo” dan seringkali juga mereka berbicara dalam Bahasa Sunda kelas pasar. Haiyyyah…gegar budaya deh aku waktu masuk SMA dulu. Puluhan cerita lucu terjadi gara-gara aku salah mengartikan kata dalam Bahasa Sunda. Walau sejak SD sampai SMP aku belajar Basa Sunda, tapi…itulah bahasa, akan menguap kalau tidak dipakai.
Ada yang baru lagi di SMA, aku dan kawan-kawan dekat sering berbicara dalam bahasa sandi yang kuncinya sering kami apdet apabila kawan-kawan diluar kelompok kami udah mulai mengendus arti kata-kata yang kami lontarkan. Waktu SMP, dengan teman dekatku, kami cukup saling mengeluarkan sandi internasional untuk inisial teman yg ingin kami gosipin. Contoh nih, aku mau bilang kalau si Tunjung hari ini keliatan cakep, aku cukup bilang, “Tango lagi cakep” atau sobatku ingin bilang kalo kecengannya, Yuliawan, belum nampak seharian, dia cukup bilang “Yankee kemana ya?” Hihihi…masih gampang ditebak banget kan bahasa sandinya?:-P
Di SMA, kreativitas aku & temen-temen selalu tertantang untuk menciptakan sandi-sandi baru. Bentar…bentar, lagi nyoba ngerecall memory nih…owiyah, untuk di awal-awal, bahasa sandi kami cukup dikasih sisipan “in” di tiap SUKU KATA yang kami ucapkan. Suku kata lho. Dan kami harus mengucapkan dengan kecepatan standar berbicara dengan Bahasa Indonesia setengah baku. Contoh nih, kami mau bicara “sebel banget deh sama si Agus” dalam bahasa sandi kami akan menjadi”sine binel sina mina sini ina ginus” sampai suatu saat, setelah berganti-ganti sandi, akhirnya muncul sandi paling heboh, dan aku serta sahabat-sahabatku menikmati sekali tatapan penuh kekaguman…eh…kebingungan temen-temen lain yang menyaksikan kami saling berbicara dalam bahasa sandi kami yg paling mutakhir itu. Masih dengan contoh kalimat yang sama “sebel banget deh sama si agus” dalam bahasa sandi mutakhir kami akan berbunyi “sesfer besfer les baiden springen esfer tes desfer hes saiden maiden sisfir aiden gusfur ses”. Hayooo…ada yang tau kuncinya nggak? Yang berhasil nebak kuncinya, aku kasih gelas cantik deh.
Udah hampir 10 tahun ini (eh, atau lebih ya?) muncul bahasa gaul yang dipopulerkan oleh Debby Sahertian, ck ck ck…doi sampai menerbitkan kamusnya tuh. Untuk bahasa yang satu ini, jangankan untuk beli kamusnya, mempelajarinya aja udah males. Secara aku ibu RT yang sehari-hari bergaul dengan anaknya sendiri, PLRT di rumah, tukang sayur di pasar, masak sih harus bilang gini “mau kemandang?” waktu aku sedang bermain-main dengan Alita yang sok dandan kayak mau ke pesta pake aksesoris lengkap fake barbie. Plis dong ah, anak lagi menyerap banyak-banyak dari ibunya koq malah diajarin yang nggak baku? Atau bilang “alamak, maharaninya ini ikan” ke tukang ikan yang menawarkan harga diluar kewajaran. Bisa juling deh itu si tukang ikan. Eh…eh…eh *pake “e” pepet lho, sambil geleng-geleng kepala pula*…nggak banget kan ya? Tapi secara aku masih kontak intensif dengan sahabat sejak SMA, dan dia wanita gaul banget, jadi sedikit-sedikit aku tahu tentang si bahasa gaul ini. Nganeh-nganehin sih, tapi rasanya sangat mudah diartikan tuh, tinggal kita cermati konteks saat kata-kata aneh itu dikeluarkan.
Untuk aku yang memang hobi dengan segala macem sandi sejak SD (ceritanya kan Pramuka gitu lho), mungkin (mungkin lho) nggak terlalu susah untuk ngikutin bahasa gaul, tapi untuk orang yang kurang suka sandi-sandian pleus kurang gaul, untuk bahasa gaul yang paling sederhana sekalipun, akan susah mengartikan, walaupun kalau berdasarkan konteks, artinya sangat jelas. He he, masih agak anget nih, sempet terjadi salah paham dengan temen lama gara-gara aku nyebut “ember” untuk mengiyakan kalimat yang dia lontarkan, dimana ember tuh artinya emang. Weladalah…rupanya dia marah, dan aku baru tahu kalo dia marah ketika beberapa hari kemudian dia kontak aku dengan sms, sempet berdiskusi dikit tentang suatu hal dan dia melontarkan kata “ember” dengan tujuan menghina, berikut penegasan “kemaren dulu elo bilang ember ke gue waktu gue ngomong masalah ini, sekarang elo ngomong kayak gue juga, dasar elo ember!” Waw…rupanya kemaren dulu itu dia marah! Endingnya hepi koq, aku jelasin arti ember itu yang semula dia nyangka itu sejenis negative comment, kami sama-sama minta maaf.
Sejak itu aku berjanji untuk berusaha bicara sesuai umur, hihihi…umur segini ngomong masih kayak ABG, dan…ssstt…aku juga berdoa untuk temenku itu, semoga dia makin bisa bergaul *ngibrit….*